Sunday, May 16, 2010
Apakah mayat berjalan Toraja tertangkap kamera?
Tulisan ini benar-benar terlambat. Namun,
walaupun sudah sering dan bahkan sudah
cukup lama diberitakan, saya masih
menerima email pertanyaan mengenai
mayat berjalan tanah Toraja. Awalnya, saya
sama sekali tidak berniat untuk menulis
soal ini karena saya enggan mengomentari
soal-soal mistik. Tapi, sepertinya
pertanyaan yang masuk rata-rata berkisar
pada masalah foto. Jadi, saya menghabiskan
dua hari ini untuk mencari informasi
mengenai Toraja dan berusaha menjawab
pertanyaan apakah foto itu menunjukkan
mayat yang berjalan di tanah Toraja?
Jadi, sayapun memutuskan untuk menulis soal
ini. Namun, saya hanya akan membatasi soal foto
sang mayat. Ada dua pertanyaan yang akan saya
jawab.
1. Apakah foto itu menunjukkan prosesi mayat
yang sedang berjalan?
2. Kalau tidak menunjukkan mayat yang
sedang berjalan, prosesi apakah yang
sedang tergambar di foto tersebut?
(Warning: Tulisan ini berisi foto-foto yang kurang
menyenangkan untuk dilihat. Jadi, kalau kalian
yang membaca ini sedang makan, sebaiknya
kalian selesaikan dulu, baru membaca)
Sebelumnya, mari kita lihat kutipan dari kisah
yang beredar luas. Ada beberapa versi yang
beredar. Namun, saya akan mengutip dari email
yang saya terima dari pembaca.
Konon disebuah gua di desa Sillanang sedjak
tahun 1905 telah ditemukan majat manusia jang
utuh, tidak busuk sampai sekarang. Majat itu tidak
dibalsem seperti jang dilakukan orang-orang
Mesir Purba bahkan tidak diberi ramuan apapun.
Tapi bisa tetap utuh.
Menurut pendapat Tampubolon, kemungkinan
ada sematjam zat digua itu jang chasiatnja bisa
mengawetkan majat manusia. Kalau sadja ada
ahli geologi dan kimia jang mau membuang
waktu menjelidiki tempat itu, agaknja teka teki gua
Sillanang dapat dipetjahkan.
Di samping majat jang anti husuk, ada pula majat
manusia jang bisa berdjalan diatas kedua kakinja,
bagaikan orang hidup jang tidak kurang suatu
apa. Kalau mau ditjari djuga perbedaannja, ada,
tapi tidak begitu kentara. Konon menurut
Tampubolon, sang majat berdjalan kaku dan
agak tersentak-sentak.
Dan dalam perdjalanan itu ia tidak bisa sendirian,
harus ditemani oleh satu orang hidup jang
mengawalnja, sampai ketudjuan achir jaitu
rumahnja sendiri. Mengapa harus demikian?
Tjeritanja begini. Orang-orang Toradja biasa
mendjeladjah daerahnja jang bergunung-gunung
dan banjak tjeruk itu hanja dengan berdjalan kaki.
Dari zaman purba sampai sekarang tetap begitu.
Mereka tidak mengenal pedati, delman, gerobak
atau jang sematjamnja. Nah dalam perdjalanan
jang berat itu kemungkinan djatuh sakit dan mati
selalu ada.
Supaja majat tidak sampai ditinggal didaerah jang
tidak dikenal (orang Toradja menghormati roh
setiap orang jang meninggal) dan djug supaja ia
tidak menjusahkan manusia lainnja (akan sangat
tidak mungkin menggotong terus-menerus
djenazah sepandjang perdjalanan jang makan
waktu berhari-hari), maka dengan satu ilmu gaib,
mungkin sedjenis hipnotisme menurut istilah
saman sekarang, majat diharuskan pulang
berdjalan kaki dan baru berhenti bila ia sudah
meletakkan badannja didalam rumahnja sendiri.
Tulisan di atas kemudian disertai dengan sebuah
foto.
Membaca kalimat di atas, saya cukup heran
dengan ejaan yang digunakan. Namun, ternyata
berita tersebut memang dimuat di berbagai blog
dengan ejaan seperti itu. Mengapa ini bisa terjadi?
Jawabannya cukup sederhana.
Tulisan ini pertama kali dimuat di internet oleh
torajacybernews.blogspot.com dan disitu
disebutkan kalau tulisan itu adalah saduran dari
sebuah tulisan lama bertanggal 19 Februari 1972.
Ejaan yang kita kenal sekarang atau Ejaan yang
disempurnakan (EYD) diresmikan penggunaannya
pada tanggal 16 Agustus 1972. Dengan demikian,
cerita di atas masih menggunakan ejaan
sebelumnya, yaitu ejaan Republik.
Jadi, sekarang kalian tahu mengapa tulisan di atas
menggunakan ejaan yang cukup asing.
Karena itu pula, foto tersebut tidak berkaitan
dengan isi tulisan itu karena foto tersebut jelas
bukan berasal dari kamera tahun 1972.
Nah, sekarang masuk ke pertanyaan
pertama: apakah foto di atas menunjukkan
foto mayat berjalan?
Menurut saya Tidak.
Apa yang terjadi sebenarnya adalah sebuah
prasangka. Bayangkan, sebuah artikel mengenai
mayat berjalan yang disertai sebuah foto mayat
yang sedang berdiri. Bukankah itu akan membuat
kita menganggapnya sebagai foto mayat
berjalan? Walaupun sebenarnya belum tentu.
Contoh lain: Misalnya, ada sebuah berita
mengenai seorang perampok yang tertangkap
polisi. Lalu pada berita tersebut, dilampiri sebuah
foto yang menunjukkan seorang pria
bertampang sangar. Apa yang terpikir oleh kalian?
Kalian akan menganggap pria itu sebagai
perampok yang tertangkap. Padahal bisa saja ia
adalah polisi berpakaian preman yang telah
menangkap perampok itu.
Soal prasangka seperti ini sudah pernah saya
bahas sedikit di postingan mengenai penemuan
jejak tapak kaki raksasa di Aceh.
Coba lihat foto di atas. Ada dua hal yang bisa
menjadi petunjuk.
Pertama, mayat wanita tersebut terlihat
seperti mumi. Ini artinya ia telah meninggal
dalam waktu yang cukup lama.
Kedua, pada foto itu, terlihat adanya sebuah
peti mati di kanan bawah. Peti mati tersebut
terlihat kotor. Ini menunjukkan kalau peti
mati itu telah digunakan untuk waktu yang
cukup lama.
Kedua petunjuk ini bertentangan dengan cerita
mengenai mayat berjalan di atas. Di cerita itu,
dikisahkan kalau orang Toraja yang merantau dan
meninggal dalam perjalanannya, supaya tidak
meninggal di tanah asing dan tidak merepotkan
orang lain, dengan suatu ilmu gaib akan dibuat
berjalan sendiri hingga sampai ke rumahnya
untuk mendapatkan proses pemakaman yang
layak.
Itu artinya, mayat berjalan Toraja adalah
mayat yang masih baru meninggal dan
belum pernah ditaruh ke dalam peti. Ini
tidak sesuai dengan foto yang kita miliki.
Lagipula, torajacybernews tidak pernah
menyebutnya sebagai foto mayat berjalan.
Lalu, pertanyaan keduanya. Jika bukan
menunjukkan mayat berjalan, prosesi
apakah yang ditunjukkan oleh foto di atas?
Saya percaya kalau foto tersebut menunjukkan
bagian dari tradisi Toraja yang disebut Ma'nene,
sejenis tradisi penghormatan kepada leluhur yang
telah meninggal. Bagian dari tradisi ini adalah
mengeluarkan jenazah anggota keluarga yang
telah lama meninggal dari makam dan mengganti
pakaiannya sebagai bentuk penghormatan kepada
mereka.
Tradisi Ma'nene pernah ditulis secara singkat oleh
liputan6.com pada bulan Agustus 2005. Dari
tulisan yang dibuat oleh Liputan6.com tersebut,
sepertinya ada deskripsi yang mirip dengan apa
yang tergambar di foto kita. Ini kutipannya:
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani
ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan
tebing batu Tunuan, keluarga ini berkumpul
menunggu peti jenazah nenek Biu--leluhur
keluarga Tumonglo yang meninggal dunia
setahun lalu--diturunkan. Tak jauh dari tebing,
kaum lelaki saling bergandengan tangan
membentuk lingkaran sambil melantunkan
Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang
melambangkan ratapan kesedihan mengenang
jasa mendiang yang telah wafat sekaligus
memberi semangat pada keluarga almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai
diturunkan dari lubang batu secara perlahan-
lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga
Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan
kekal setelah kematian. Sejatinya kematian
bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan.
Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap
keluarga untuk mengenang dan merawat jasad
leluhurnya meski sudah meninggal dunia
beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini, jasad
orang mati dikeluarkan kembali dari
tempatnya. Kemudian, mayat tersebut
dibungkus ulang dengan lembaran kain baru
oleh masing-masing anak cucunya.
Kutipan selanjutnya:
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti
yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah
meninggal setahun yang lalu itu dibungkus
ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini
atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa
hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada
untuk memberi kebaikan.
Selain di liputan6.com, saya menemukan tulisan
lain mengenai proses penggantian pakaian
jenazah yang ditulis oleh Eko Rusdianto di
ekorusdianto.blogspot.com. Eko bahkan
melampirkan dua foto yang menunjukkan
prosesi yang sangat mirip dengan yang
tergambar di foto kita.
Eko menceritakan mengenai mayat yang sedang
dibersihkan:
Namanya Bapak Lambaa, meninggal usia 70
tahun. Tingginya sekitar 165 cm. Keluarganya
menggulung celana dengan perlahan hingga
lutut. Yang lain ikut mendandani Ambe Lambaa.
Pakaian usang yang dikenakannya bertahun-
tahun sekarang ikut diganti. Kaos kaki, jas,
celana luar dan dalam. Hingga rambut harus
disisir.
Kini bapak Lambaa kembali menggunakan
pakaian bersih. Perlahan-lahan ditidurkan
kembali pada rumah petinya.
Jadi, bukankah foto misterius kita lebih sesuai
dengan deskripsi jenazah yang sedang
dibersihkan dan diganti pakaiannya dibanding
mayat berjalan?
Namun, sebelumnya, saya perlu menegaskan
kalau saya sama sekali tidak kesulitan menerima
ide adanya ilmu gaib yang bisa membuat mayat
berjalan sendiri. Jadi, tulisan ini tidak bermaksud
untuk menyangkal adanya tradisi itu.
Seperti yang saya katakan di atas, semua ini
hanya pendapat saya pribadi. Jika berbicara soal
tradisi daerah, saya yakin, pembaca yang asli
Toraja akan lebih mengerti. Jadi, jika saya
melakukan kesalahan dalam tulisan ini, dengan
senang hati saya menerima koreksi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment